Friday, July 27, 2012

Becoming a woman of excel :)


A woman of excellence
is what I long to be
filled with Your Godly wisdom
so it is part of me

a woman of integrity
no matter what I face
standing up for righteousness
and for Your saving grace

a woman of destiny
living in your plan
knowing where You had have me walk
being guided by Your hand

a woman of promise
standing on Your word
holding on to all the truths
while carrying out Your work

a woman of compassion
for the ones in the dark
those that do not know Your love
and have darkness in their hearts

a woman that will never compromise the faith
with what the world may offer
but will keep the narrow way

a woman who loves Jesus
and will only follow Him
gladly to give up the world
so His light can shine with me

Lord, this is my earnest prayer
as a daughter by Your grace
grow in me the qualities as I walk with you in faith

Amen :)

^.^

-tia-

Tuesday, July 24, 2012

Kemana, larinya Indigenous Knowledge Indonesia?


ini adalah artikel yang pernah aku buat untuk tugas suatu mata kuliah. Yah, walaupun masih belum bisa dimuat di media cetak nasional, paling enggak bisa nampang di blog sendiri juga udah lumayan. hehe.. Sebagai pemula, dan saya bukanlah analis yang hebat harap maklum kalau kurang berkenan. :)
Ini hanya sekadar celotehan anak kecil :)
oiya, special thanks to Mr. Thomas, my inspiration. Terima kasih buat bimbingan, saran, dan kritik serta apresiasinya. Maaf kalau saat ini belum bisa dimuat dimedia cetak, saya akan mencoba terus! :)
***
Kemana, larinya Indigenous Knowledge Indonesia?

              Sudah menjadi rahasia umum bahwa sering terjadi konflik pengakuan kebuadayaan antara Indonesia dan Negeri Jiran Malaysia. Kabar terbaru ialah klaim atas tari Tor-Tor dan Paluan Gondang Sambilan dari Tanah Batak yang rencananya akan didaftarkan oleh pihak Kementerian Penerangan, Komunikasi dan Kebudayaan Malaysia untuk mengikuti Section 67 Akta Warisan Kebangsaan 2005. Pihak Malaysia berani mendaftarkan keduanya (Tor tor dan Gondang Sambilan) menyusul pernyataan Konvensi Geneva yang menyebutkan bahwa kedua hasil budaya tersebut belum dimiliki oleh siapapun.
                Kasus tersebut bukanlah kasus pertama yang menyeruak di media massa. Sebelumnya konflik pengakuan budaya juga sudah sering terjadi di antara keduanya. Mulai dari Tari Pendet asal Bali dan juga Lagu Daerah Maluku, Rasa Sayange yang disertakan dalam iklan pariwisata mereka, “Malaysia Truly Asia”, klaim atas batik, Reog Ponorogo, hingga kunyit dan rendang yang juga mencoba “diakui” sebagai khas negeri Jiran tersebut. Sikap negara tetangga itu atas budaya Indonesia sontak saja menuai berbagai response negatif dari masyarakat Indonesia. Marah, terkejut bahkan mungkin rasa heran muncul dari benak seluruh masyarakat Indonesia melihat sikap Malaysia. Parahnya lagi, sebagai negara yang terdekat dan serumpun,  yang memiliki banyak kesamaan budayaan bahasa, mungkin saja bila budaya Melayu nya pun sama. Tapi Malaysia tidak hanya mengklaim budaya yang ada unsur-unsur Melayu nya saja, tetapi juga budaya yang sebenarnya tidak ada unsur dan hubungannya sama sekali dengan budaya melayu, misalnya lagu rasa sayange dari Maluku, Reog Ponorogo dari Jawa Timur, dan juga alat musik anklung dari Jawa Barat.
                Terlepas dari semua pembelaan dan pembenaran yang dilakukan oleh Malaysia, bermacam-macam pendapat yang dilontarkan oleh masyarakat Indonesia dari berbagai golongan yang menyatakan bahwa sebaiknya pemerintah mematenkan seluruh budaya asli Indonesia sebelum di klaim oleh Negara lain. Sebenarnya pemerintah bukannya terkesan lambat dalam meresponi kasus klaim budaya ini. Dalam prakteknya, memang tidaklah mudah dan semudah yang dibayangkan untuk mendaftarkan budaya suatu Negara kepada PBB, dalam hal ini UNESCO (United Nations Educational, Scientific, dan Cultural Organization). Organisasi Pendidikan Kebudayaan PBB itu memiliki aturan dan prosedur tertentu yang terkait dengan pengakuan kepemilikan budaya atas suatu Negara. Jadi, tidak serta merta hanya dengan membuat list budaya milik Indonesia dan kemudian disetujui oleh Internasional. UNESCO tentunya akan melakukan observasi dan analisis atas budaya yang didaaftarkan tersebut. Penelitian atas asal-usul budaya yang kemudian akan dinilai dengan bukti-bukti yang mendukung serta dinilai juga upaya pemerintah mengakui budaya tersebut, merupakan salah satu prosedur utama yang harus dilakukan
                Sebenarnya tidak harus semua budaya di daftarkan pun, suatu Negara sudah secara otomatis memiliki hak cipta atas budaya tersebut dengan sendirinya. Ada satu hal yang mungkin kurang familiar di telinga masyarakat kita, yaitu dengan adanya indigenous knowledge atau kearifan lokal. Indigenous knowledge didefisikan sebagai suatu pengetahuan yang khas dan dalam suatu masyarakat atau kelompok masyarakat tertentu. Dalam proses penemuan suatu budaya berharga bisa saja ditemukan dengan prosees yang tidak disengaja. Nenek moyang menemukan suatu alat musik dari bambu misalnya, yang kemudian digunakan dalam upacara adat serta mewariskannya turun temurun hingga zaman modern seperti sekarang. Maka dari itu berawal dari kearifan lokal inilah, suatu budaya dapat menjadi ikon suatu komunitas masyarakat tertentu. Kearifan lokal pada umumnya tidak tersurat, ia lahir dan berkembang di daerah pedesaan yang bahkan terpencil yang masih bersifat tradisional.
                Seperti yang diketahui oleh dunia Internasional bahwa Indonesia memiliki beragam suku dengan berbagai budaya asli mereka yang berasal dari warisan nenek moyang mereka masing-masing. Mulai dari lagu rakyat, seni tari, cerita rakyat, rumah adat, pakaian adat, dan tradisi adat mereka masing-masing. Inilah yang disebut indigenous Knowledge. Bahkan Indonesia sendiri menempati peringkat ke 39 se-dunia dalam “World Cultural Heritage” versi “World Economic Forum”. Kekayaan budaya ini sangatlah disayangkan bila masyarakatnya bahkan pemerintah tidak menjaga kearifan lokal yang dimilikinya. Lebih lagi, kini indigenous knowledge sudah diakui oleh internasional sebagai hak cipta ekslusif suatu Negara atau sebagai intellectual property rights. Perlindungan terhadap hak cipta kebudayaan dalam indigenous knowledge ini juga sangat dilindungi oleh payung hukum internasional, salah satunya oleh UNESCO dalam World Forum on the Protection of Folklore. Di Indonesia sendiri, kearifan lokal dituangkan dalam undang-undang hak cipta atas hak kekayaan intelektual. Jadi, sebenarnya bisa saja pemerintah Indonesia mengajukan keberatan dan laporan atas klaim budaya milik Negara Indonesia atas Negara lain tanpa harus mendaftarkan ataupun mematenkan budaya tersebut. Toh, indingeneous knowledge sudah cukup memberikan payung perlindungan atas budaya yang di klaim tersebut. Upaya pematenan budaya hanyalah salah satu upaya untuk mendapatkan pengakuan tertulis atas budaya tersebut.
                Zaman globalisasi yang semakin menghilangkan “batas-batas” Negara, mengharuskan kita, sebagai masyarakat yang hormat dan cinta pada tradisi pendahulu-pendahulu kita, untuk terus melakukan upaya perlindungan, pemeliharaan, pemanfaatan, inovasi dan pencegahan perampasan oleh pihak-pihak yang tidak berhak atas kearifan lokal Indonesia. Kita harus berbangga dan berbesar hati memiliki negeri yang kaya akan budaya. Terdengar klise memang, tapi memang seperti itu keadaannya. Kita harus mau memulai untuk mencintai budaya kita dan memperkuat indigenous knowledge. Sehingga tanpa adanya pengakuan dan pematenan pun, Negara lain akan takut dan merasa enggan untuk “merampasnya”.
                Lihat saja salah satu contoh nyata yang ada di Indonesia, yaitu barongsai. Budaya masyarakat Tionghoa ini sudah lama ada di Indonesia dan juga Malaysia. Bahkan barongsai sering dimainkan dan dipertunjukkan dalam hari-hari besar suatu daerah di Indonesia. Namun hingga kini belum pernah ada yang mengklaim atas budaya Tionghoa itu. Mengapa hal ini bisa terjadi? Bukan karena budaya kurang menarik untuk diklaim atau hal lain, melainkan karena adanya indigenous knowledge  yang baik dan berakar kuat dari masyarakat Tionghoa itu sendiri, menjadi kunci utamanya Sehingga tanpa adanya pematenan di dunia internasional, indigenous knowledge secara tidak langsung membuat mindset masyarakat dunia mengatakan bahwa barongsai sama dengan masyarakat Tionghoa.
                Kembali kepada berbagai kasus klaim Malaysia, yang dapat dilakukan ialah mengkesplorasi kembali kearifan lokal yang sudah ada ini agar kembali diakui oleh dunia. Pemerintah juga sudah harus memulai mengambil langkah-langkah konkret melakukan konservasi budaya, bisa melalui pendidikan, penelitian dan pengembangan terhadap budaya khas Indonesia. Semuanya itu butuh proses yang cukup lama.  Membangun rasa cinta dan memiliki terhadap budaya sendiri juga perlu ditanamkan dan dipupuk dalam komunitas masyarakat Indonesia agar bisa tetap memajukan eksistensi kebudayaan Indonesia ditengah globalisasi zaman.  Bangsa yang besar adalah bangsa yang mencintai budayanya.

***

Martina Dwi Pramesthi 

Saturday, July 21, 2012

saya bangga jadi anak mereka (bapak ku dan ibu ku)

pas tadi nonton TV, lihat ada sekelompok orang yang peduli sama anak-anak disabilitas, ya mereka yang luar biasa dan perlu perhatian khusus. Terus aku nyeplos "aku salut deh sama orang-orang yang mau ngurusin mereka, pasti sabar banget :')" Terus temenku jawab: "ya, kayak orang tua mu lah, Ya"

*oiya* aku baru inget bahwa aku punya dua sosok hebat dalam hidupku, dan harusnya aku boleh berbangga. Ya bapak sama ibu! Beliau berdua udah lama bekerja di suatu sekolah luar biasa (SLB) yang mungkin gak semua orang mau ambil profesi itu. Setiap hari dihadapkan dengan mereka yang perlu perhatian khusus, mereka yang disabilitas.
(aku gak boleh nyebut mereka cacat ataupun terbelakang atau autis atau lainnya. Orang tua ku yang ngajarin aku untuk pake bahasa yang lebih halus. karena pada dasarnya mereka itu sama kaya kita yang normal, sama-sama manusia yang punya hak hidup)

*back to topic again*

aku salut dan super bangga sama kedua orangtua ku yang memilih profesi ini. Gak gampang lho! jadi pernah waktu itu ada seorang siswa nya yang belajar dirumah kami, setiap disuruh ngerjain soal matematika dia pasti nangis dan muntah-muntah. nah, mau gak mau ibu ku membujuk dan merayu nya agar mau ngerjain dan belajar matematika. selain itu, beliau juga harus membersihkan muntahannya itu (*hiaks* kalau aku sih jijik). Belum lagi ibu juga pernah cerita kalau murid-muridnya sering pub diccelana, dan beberapa hal unik lainnya.

Ya, bapak dan ibu ku hebat! Bapak ngajar spesialisasi tunanetra. Beliau ngajarin murid-muridnya nulis braille, baca braille, ngajarin jalan, dan lainnya. kalo ibu, di spesialisasi tunagrahita (ya mereka yang perlu kebutuhan khusus dalam belajar). Sungguh pekerjaan yang mulia, yang mungkin gak seberapa bayarannya. Tapi, bapak dan ibu sudah cukup senang kalau melihat murid-muridnya berhasil nantinya, paling enggak bisa mandiri ngurus diri mereka sendiri.

Pernah suatu kali, ketika kami makan bersama di sebuah rumah makan, kami bertemu dengan salah satu murid Bapak yang sudah sejak lama diajarnya, yang kini jadi seorang juru parkir. Mungkin gak seberapa, kalau di mata kita. Tapi.. bagi bapak, itu sudah capaian yang luar biasa, ketika siswanya bisa mandiri mencari uang sendiri, dan tentunya masih ingat dengan gurunya. aku melihat ada raut bangga dan terharu diwajah beliau ketika bertemu dengan muridnya ini. dan muridnya itu pun masih ingat sama kakakku *padahal kakakku pun udah lupa*

Ada juga, murid bapak sama ibu yang kini sudah sukses buka toko, jadi fashion designer, jadi model, jadi pegawai restoran, ikut berlayar jadi pelaut, dan beberapa lainnya. Kata bapak sama ibu : mereka bisa baca tuli hitung. itu udah lumayan.

Ya, sekali lagi aku sangat bangga dengan bapak dan ibu yang mendedikasikan hidupnya untuk membentuk generasi penerus bangsa. Mereka yang disabilitas juga punya hak sebagai penerus bangsa, mereka aset  bangsa yang berharga.

Kalau melihat mereka yang disabilitas, membuatku jadi selalu merasa bersyukur atas kondisiku saat ini. Terlebih sangat bersyukur menjadi anak dari bapak dan ibu ku :)


Childlike NOT Childish!






"kamu tuh childish banget sih!" pernah gak dibilang kayak gitu?
kalo aku jawabnya : pernah! bahkan seringkali.

Tapi, menurutku aku sendiri gak begitu childish deh (pencitraan), bersyukur aku masih bisa mandiri dan gak annoying. Ya memang sih aku masih sering nonton film kartun sejenis Spongebob di usia ku yang sekarang sebagai mahasiswi *abis lucu sih, emang salah gitu?*. Tapi apakah itu aja yg jadi parameter untuk layak dibilang childish?

Well, we were all born a child. Kita semua pasti pernah merasakan jadi anak-anak. Kita pun pasti udah puas bisa merasakan bahagianya masa-masa kecil kita. Bisa manja-manjaan sama ortu, ngambek seenaknya, nangis kapan aja, dan ngusilin temen-temen kita :p. But as time goes by, manusia beranjak dewasa dan harus menjalani fase hidup yang lebih serius dan penuh tanggung jawab. Tapi kadang gak sedikit dari kita (bahkan aku juga) masih belum realize kalo ini tuh udah saatnya aku moveon dari masa anak-anak.

Ya seperti kebanyakan manusia, paling susah kalo disuruh bersyukur. Dulu waktu kecil pengen cepet-cepet sekolah, begitu masuk TK, pengen cepet-cepet masuk SD, begitu SD pengen cepetan SMP, terus ngeliat kakak-kakak SMA pengen juga cepet-cepet SMA, pengen cepet-cepet kuliah, begitu kuliah pengen cepet-cepet kerja, nikah, punya anak 2 *eh* Tapi saat kita udah mencapai yang diinginkan sering kan pengen kembali kemasa lalu. Kayak sekarang nih, dulu waktu SMA aku pengen banget bisa cepet-cepet kuliah. kayaknya keren gitu bisa jadi anak kuliahan, bosen 12 tahun jadi anak sekolahan. Tapi.. setelah jadi anak kuliahan, eh pengen lagi balik SMA bahkan pengen lagi balik jadi anak TK.
Nahlo, pernah gak ngerasa gitu? Nah itu, artinya belum bisa nerima kenyataan kalau kita udah beranjak dewasa dan punya tanggung jawab besar sama hidup kita sendiri nantinya.



*back to topic*

So, what is childish? Honestly, it’s not easy defining what childish is. Childish itu beda banget sama child-like, atau sifat-sifat yang yang dipunyai anak-anak, kaya innocent, trusting, unfeigned, dan pure. Childish punya konotasi negative, dimana seseorang yang udah dewasa masih bersikap immature dan sering bertingkah kaya anak-anak. Berikut ini nih beberapa ciri-cirinya:

  • Manja! Maunya serba dilayani dan gak mandiri. Sering ngeluh kalau ketemu sesuatu yang bikin repot atau gak nyaman 
  • Irresponsible. Sering lalai ngerjain kewajiban dan tanggung jawab. Kalau melakukan kesalahan, nggak mau nanggung resikonya 
  • Self-Centered. Kalo pengen sesuatu harus segera terpenuhi (emangnya bayi). Nggak mau ngalah dan selalu memikirkan dirinya sendiri. 
  • Gampang Ngambek. Moody! Gampang marah, dan mudah tersinggung sampai kadang-kadang jadi cengeng. 
  • Love to play around Selalu ingin bersenang-senag. Nggak punya pendirian alias plin-plan. Susah ngambil keputusan dan sering terpengaruh sama omongan orang lain 
  • Too lazy too think. Terlalu males buat mikir, bikin target hidup, atau melakukan tindakan untuk mewujudkan keinginan. 


Childish boleh aja, bahkan emang perlu untuk beberapa situasi. Tapi childish yang berlebihan lama-lama bikin sebel juga yang denger dan ngadepinnya!

Aku jadi inget sama statement dari salah satu dosenku: "Jangan matikan sifat anak kecil Anda!" Ya. sifat anak kecil bukan sifat kekanak-kanakan. It means CHILD-LIKE NOT CHILDISH! ya sifat anak-anak yang seperti di gambar di atas emang perlu dikembangkan. sifat imajinatif buat hidup kita lebih hidup, gak monoton! Jujur juga sangat perlu dikembangkan.

Sometimes, kita memang nggak perlu terlalu serius menanggapi kehidupan. Sisi kekanak-kanakan kita bisa bikin hidup lebih berwarna dan bahagia. Maka itu, boleh aja sekali-sekali manja-manja sama pacar (kalo punya), nggak mau ngalah kakak/adik, atau being spontaneous sekedar untuk bersenang-senang sama teman-teman. Tapi karena kita udah bukan anak-anak lagi, hal tersebut harus di seimbangkan dengan sikap dewasa. Yaitu dengan smart dalam memposisikan diri. Termasuk menahan sifat kekanak-kanakan yang kadang suka muncul di waktu yang nggak di duga. So, pada dasarnya, you need to be childish, sometime asal tujuannya dan waktunya tepat, juga nggak ngerugiin orang lain.


It’s Not Easy Being Adult!

Waktu kecil, kita pengen cepet-cepet gede, tapi pas gede pengen jadi anak kecil lagi. Hmhhhh…..dari pada holding on to your comfort-child-zone, mendingan persiapkan diri menghadapi usia dewasa. Semuanya butuh proses. Sama seperti bejana yang sedang dibentuk mau jadi apa nanti, tergantung dari kita menyikapi hidup :)

Akupun masih berusaha untuk bisa menjadi dewasa, mengurangi image childish, dan berusaha menjadi seorang wanita dewasa yang tetep cute and childlike :3