ini adalah artikel yang pernah aku buat untuk tugas suatu mata kuliah. Yah, walaupun masih belum bisa dimuat di media cetak nasional, paling enggak bisa nampang di blog sendiri juga udah lumayan. hehe.. Sebagai pemula, dan saya bukanlah analis yang hebat harap maklum kalau kurang berkenan. :)
Ini hanya sekadar celotehan anak kecil :)
oiya, special thanks to Mr. Thomas, my inspiration. Terima kasih buat bimbingan, saran, dan kritik serta apresiasinya. Maaf kalau saat ini belum bisa dimuat dimedia cetak, saya akan mencoba terus! :)
***
Kemana, larinya Indigenous Knowledge Indonesia?
Sudah menjadi rahasia umum bahwa sering terjadi
konflik pengakuan kebuadayaan antara Indonesia dan Negeri Jiran Malaysia. Kabar
terbaru ialah klaim atas tari Tor-Tor dan Paluan Gondang Sambilan dari Tanah
Batak yang rencananya akan didaftarkan oleh pihak Kementerian Penerangan,
Komunikasi dan Kebudayaan Malaysia untuk mengikuti Section 67 Akta Warisan
Kebangsaan 2005. Pihak Malaysia berani mendaftarkan keduanya (Tor tor dan
Gondang Sambilan) menyusul pernyataan Konvensi Geneva yang menyebutkan bahwa
kedua hasil budaya tersebut belum dimiliki oleh siapapun.
Kasus
tersebut bukanlah kasus pertama yang menyeruak di media massa. Sebelumnya
konflik pengakuan budaya juga sudah sering terjadi di antara keduanya. Mulai
dari Tari Pendet asal Bali dan juga Lagu Daerah Maluku, Rasa Sayange yang
disertakan dalam iklan pariwisata mereka, “Malaysia Truly Asia”, klaim atas
batik, Reog Ponorogo, hingga kunyit dan rendang yang juga mencoba “diakui”
sebagai khas negeri Jiran tersebut. Sikap negara tetangga itu atas budaya
Indonesia sontak saja menuai berbagai response negatif dari masyarakat
Indonesia. Marah, terkejut bahkan mungkin rasa heran muncul dari benak seluruh
masyarakat Indonesia melihat sikap Malaysia. Parahnya lagi, sebagai negara yang
terdekat dan serumpun, yang memiliki
banyak kesamaan budayaan bahasa, mungkin saja bila budaya Melayu nya pun sama.
Tapi Malaysia tidak hanya mengklaim budaya yang ada unsur-unsur Melayu nya
saja, tetapi juga budaya yang sebenarnya tidak ada unsur dan hubungannya sama
sekali dengan budaya melayu, misalnya lagu rasa sayange dari Maluku, Reog
Ponorogo dari Jawa Timur, dan juga alat musik anklung dari Jawa Barat.
Terlepas
dari semua pembelaan dan pembenaran yang dilakukan oleh Malaysia,
bermacam-macam pendapat yang dilontarkan oleh masyarakat Indonesia dari
berbagai golongan yang menyatakan bahwa sebaiknya pemerintah mematenkan seluruh
budaya asli Indonesia sebelum di klaim oleh Negara lain. Sebenarnya pemerintah
bukannya terkesan lambat dalam meresponi kasus klaim budaya ini. Dalam
prakteknya, memang tidaklah mudah dan semudah yang dibayangkan untuk
mendaftarkan budaya suatu Negara kepada PBB, dalam hal ini UNESCO (United Nations Educational, Scientific, dan
Cultural Organization). Organisasi Pendidikan Kebudayaan PBB itu memiliki aturan
dan prosedur tertentu yang terkait dengan pengakuan kepemilikan budaya atas
suatu Negara. Jadi, tidak serta merta hanya dengan membuat list budaya milik Indonesia dan kemudian disetujui oleh Internasional.
UNESCO tentunya akan melakukan observasi dan analisis atas budaya yang
didaaftarkan tersebut. Penelitian atas asal-usul budaya yang kemudian akan
dinilai dengan bukti-bukti yang mendukung serta dinilai juga upaya pemerintah
mengakui budaya tersebut, merupakan salah satu prosedur utama yang harus
dilakukan
Sebenarnya
tidak harus semua budaya di daftarkan pun, suatu Negara sudah secara otomatis
memiliki hak cipta atas budaya tersebut dengan sendirinya. Ada satu hal yang
mungkin kurang familiar di telinga
masyarakat kita, yaitu dengan adanya indigenous knowledge atau kearifan lokal.
Indigenous knowledge didefisikan
sebagai suatu pengetahuan yang khas dan dalam suatu masyarakat atau kelompok
masyarakat tertentu. Dalam proses penemuan suatu budaya berharga bisa saja
ditemukan dengan prosees yang tidak disengaja. Nenek moyang menemukan suatu
alat musik dari bambu misalnya, yang kemudian digunakan dalam upacara adat
serta mewariskannya turun temurun hingga zaman modern seperti sekarang. Maka
dari itu berawal dari kearifan lokal inilah, suatu budaya dapat menjadi ikon
suatu komunitas masyarakat tertentu. Kearifan lokal pada umumnya tidak
tersurat, ia lahir dan berkembang di daerah pedesaan yang bahkan terpencil yang
masih bersifat tradisional.
Seperti
yang diketahui oleh dunia Internasional bahwa Indonesia memiliki beragam suku
dengan berbagai budaya asli mereka yang berasal dari warisan nenek moyang
mereka masing-masing. Mulai dari lagu rakyat, seni tari, cerita rakyat, rumah
adat, pakaian adat, dan tradisi adat mereka masing-masing. Inilah yang disebut indigenous Knowledge. Bahkan Indonesia
sendiri menempati peringkat ke 39 se-dunia dalam “World Cultural Heritage”
versi “World Economic Forum”. Kekayaan budaya ini sangatlah disayangkan bila
masyarakatnya bahkan pemerintah tidak menjaga kearifan lokal yang dimilikinya.
Lebih lagi, kini indigenous knowledge sudah
diakui oleh internasional sebagai hak cipta ekslusif suatu Negara atau sebagai intellectual property rights. Perlindungan
terhadap hak cipta kebudayaan dalam indigenous knowledge ini juga sangat
dilindungi oleh payung hukum internasional, salah satunya oleh UNESCO dalam World Forum on the Protection of Folklore. Di
Indonesia sendiri, kearifan lokal dituangkan dalam undang-undang hak cipta atas
hak kekayaan intelektual. Jadi, sebenarnya bisa saja pemerintah Indonesia
mengajukan keberatan dan laporan atas klaim budaya milik Negara Indonesia atas
Negara lain tanpa harus mendaftarkan ataupun mematenkan budaya tersebut. Toh, indingeneous
knowledge sudah cukup memberikan payung perlindungan atas budaya yang di
klaim tersebut. Upaya pematenan budaya hanyalah salah satu upaya untuk
mendapatkan pengakuan tertulis atas budaya tersebut.
Zaman
globalisasi yang semakin menghilangkan “batas-batas” Negara, mengharuskan kita,
sebagai masyarakat yang hormat dan cinta pada tradisi pendahulu-pendahulu kita,
untuk terus melakukan upaya perlindungan, pemeliharaan, pemanfaatan, inovasi
dan pencegahan perampasan oleh pihak-pihak yang tidak berhak atas kearifan
lokal Indonesia. Kita harus berbangga dan berbesar hati memiliki negeri yang
kaya akan budaya. Terdengar klise memang, tapi memang seperti itu keadaannya.
Kita harus mau memulai untuk mencintai budaya kita dan memperkuat indigenous knowledge. Sehingga tanpa
adanya pengakuan dan pematenan pun, Negara lain akan takut dan merasa enggan
untuk “merampasnya”.
Lihat
saja salah satu contoh nyata yang ada di Indonesia, yaitu barongsai. Budaya
masyarakat Tionghoa ini sudah lama ada di Indonesia dan juga Malaysia. Bahkan
barongsai sering dimainkan dan dipertunjukkan dalam hari-hari besar suatu
daerah di Indonesia. Namun hingga kini belum pernah ada yang mengklaim atas
budaya Tionghoa itu. Mengapa hal ini bisa terjadi? Bukan karena budaya kurang
menarik untuk diklaim atau hal lain, melainkan karena adanya indigenous knowledge yang baik dan berakar kuat dari masyarakat
Tionghoa itu sendiri, menjadi kunci utamanya Sehingga tanpa adanya pematenan di
dunia internasional, indigenous knowledge
secara tidak langsung membuat mindset
masyarakat dunia mengatakan bahwa barongsai sama dengan masyarakat
Tionghoa.
Kembali
kepada berbagai kasus klaim Malaysia, yang dapat dilakukan ialah mengkesplorasi
kembali kearifan lokal yang sudah ada ini agar kembali diakui oleh dunia. Pemerintah
juga sudah harus memulai mengambil langkah-langkah konkret melakukan konservasi
budaya, bisa melalui pendidikan, penelitian dan pengembangan terhadap budaya
khas Indonesia. Semuanya itu butuh proses yang cukup lama. Membangun rasa cinta dan memiliki terhadap
budaya sendiri juga perlu ditanamkan dan dipupuk dalam komunitas masyarakat
Indonesia agar bisa tetap memajukan eksistensi kebudayaan Indonesia ditengah
globalisasi zaman. Bangsa yang besar
adalah bangsa yang mencintai budayanya.
***
Martina Dwi Pramesthi
bagus ti :)
ReplyDeleteitu Mr.Thomas itu siapa? bukan Tom Power kan *sotoy
thankyou :)
Deletebukan -.-
beliau dosenku...
Boleh bertanya ya mbak
ReplyDeleteApa sih perbedaan indigenous knowledge dan lokal wisdom (kearifan lokal)?
tulisan yang bagus, terima kasih atas insightnya :))
ReplyDelete