Tuesday, July 24, 2012

Kemana, larinya Indigenous Knowledge Indonesia?


ini adalah artikel yang pernah aku buat untuk tugas suatu mata kuliah. Yah, walaupun masih belum bisa dimuat di media cetak nasional, paling enggak bisa nampang di blog sendiri juga udah lumayan. hehe.. Sebagai pemula, dan saya bukanlah analis yang hebat harap maklum kalau kurang berkenan. :)
Ini hanya sekadar celotehan anak kecil :)
oiya, special thanks to Mr. Thomas, my inspiration. Terima kasih buat bimbingan, saran, dan kritik serta apresiasinya. Maaf kalau saat ini belum bisa dimuat dimedia cetak, saya akan mencoba terus! :)
***
Kemana, larinya Indigenous Knowledge Indonesia?

              Sudah menjadi rahasia umum bahwa sering terjadi konflik pengakuan kebuadayaan antara Indonesia dan Negeri Jiran Malaysia. Kabar terbaru ialah klaim atas tari Tor-Tor dan Paluan Gondang Sambilan dari Tanah Batak yang rencananya akan didaftarkan oleh pihak Kementerian Penerangan, Komunikasi dan Kebudayaan Malaysia untuk mengikuti Section 67 Akta Warisan Kebangsaan 2005. Pihak Malaysia berani mendaftarkan keduanya (Tor tor dan Gondang Sambilan) menyusul pernyataan Konvensi Geneva yang menyebutkan bahwa kedua hasil budaya tersebut belum dimiliki oleh siapapun.
                Kasus tersebut bukanlah kasus pertama yang menyeruak di media massa. Sebelumnya konflik pengakuan budaya juga sudah sering terjadi di antara keduanya. Mulai dari Tari Pendet asal Bali dan juga Lagu Daerah Maluku, Rasa Sayange yang disertakan dalam iklan pariwisata mereka, “Malaysia Truly Asia”, klaim atas batik, Reog Ponorogo, hingga kunyit dan rendang yang juga mencoba “diakui” sebagai khas negeri Jiran tersebut. Sikap negara tetangga itu atas budaya Indonesia sontak saja menuai berbagai response negatif dari masyarakat Indonesia. Marah, terkejut bahkan mungkin rasa heran muncul dari benak seluruh masyarakat Indonesia melihat sikap Malaysia. Parahnya lagi, sebagai negara yang terdekat dan serumpun,  yang memiliki banyak kesamaan budayaan bahasa, mungkin saja bila budaya Melayu nya pun sama. Tapi Malaysia tidak hanya mengklaim budaya yang ada unsur-unsur Melayu nya saja, tetapi juga budaya yang sebenarnya tidak ada unsur dan hubungannya sama sekali dengan budaya melayu, misalnya lagu rasa sayange dari Maluku, Reog Ponorogo dari Jawa Timur, dan juga alat musik anklung dari Jawa Barat.
                Terlepas dari semua pembelaan dan pembenaran yang dilakukan oleh Malaysia, bermacam-macam pendapat yang dilontarkan oleh masyarakat Indonesia dari berbagai golongan yang menyatakan bahwa sebaiknya pemerintah mematenkan seluruh budaya asli Indonesia sebelum di klaim oleh Negara lain. Sebenarnya pemerintah bukannya terkesan lambat dalam meresponi kasus klaim budaya ini. Dalam prakteknya, memang tidaklah mudah dan semudah yang dibayangkan untuk mendaftarkan budaya suatu Negara kepada PBB, dalam hal ini UNESCO (United Nations Educational, Scientific, dan Cultural Organization). Organisasi Pendidikan Kebudayaan PBB itu memiliki aturan dan prosedur tertentu yang terkait dengan pengakuan kepemilikan budaya atas suatu Negara. Jadi, tidak serta merta hanya dengan membuat list budaya milik Indonesia dan kemudian disetujui oleh Internasional. UNESCO tentunya akan melakukan observasi dan analisis atas budaya yang didaaftarkan tersebut. Penelitian atas asal-usul budaya yang kemudian akan dinilai dengan bukti-bukti yang mendukung serta dinilai juga upaya pemerintah mengakui budaya tersebut, merupakan salah satu prosedur utama yang harus dilakukan
                Sebenarnya tidak harus semua budaya di daftarkan pun, suatu Negara sudah secara otomatis memiliki hak cipta atas budaya tersebut dengan sendirinya. Ada satu hal yang mungkin kurang familiar di telinga masyarakat kita, yaitu dengan adanya indigenous knowledge atau kearifan lokal. Indigenous knowledge didefisikan sebagai suatu pengetahuan yang khas dan dalam suatu masyarakat atau kelompok masyarakat tertentu. Dalam proses penemuan suatu budaya berharga bisa saja ditemukan dengan prosees yang tidak disengaja. Nenek moyang menemukan suatu alat musik dari bambu misalnya, yang kemudian digunakan dalam upacara adat serta mewariskannya turun temurun hingga zaman modern seperti sekarang. Maka dari itu berawal dari kearifan lokal inilah, suatu budaya dapat menjadi ikon suatu komunitas masyarakat tertentu. Kearifan lokal pada umumnya tidak tersurat, ia lahir dan berkembang di daerah pedesaan yang bahkan terpencil yang masih bersifat tradisional.
                Seperti yang diketahui oleh dunia Internasional bahwa Indonesia memiliki beragam suku dengan berbagai budaya asli mereka yang berasal dari warisan nenek moyang mereka masing-masing. Mulai dari lagu rakyat, seni tari, cerita rakyat, rumah adat, pakaian adat, dan tradisi adat mereka masing-masing. Inilah yang disebut indigenous Knowledge. Bahkan Indonesia sendiri menempati peringkat ke 39 se-dunia dalam “World Cultural Heritage” versi “World Economic Forum”. Kekayaan budaya ini sangatlah disayangkan bila masyarakatnya bahkan pemerintah tidak menjaga kearifan lokal yang dimilikinya. Lebih lagi, kini indigenous knowledge sudah diakui oleh internasional sebagai hak cipta ekslusif suatu Negara atau sebagai intellectual property rights. Perlindungan terhadap hak cipta kebudayaan dalam indigenous knowledge ini juga sangat dilindungi oleh payung hukum internasional, salah satunya oleh UNESCO dalam World Forum on the Protection of Folklore. Di Indonesia sendiri, kearifan lokal dituangkan dalam undang-undang hak cipta atas hak kekayaan intelektual. Jadi, sebenarnya bisa saja pemerintah Indonesia mengajukan keberatan dan laporan atas klaim budaya milik Negara Indonesia atas Negara lain tanpa harus mendaftarkan ataupun mematenkan budaya tersebut. Toh, indingeneous knowledge sudah cukup memberikan payung perlindungan atas budaya yang di klaim tersebut. Upaya pematenan budaya hanyalah salah satu upaya untuk mendapatkan pengakuan tertulis atas budaya tersebut.
                Zaman globalisasi yang semakin menghilangkan “batas-batas” Negara, mengharuskan kita, sebagai masyarakat yang hormat dan cinta pada tradisi pendahulu-pendahulu kita, untuk terus melakukan upaya perlindungan, pemeliharaan, pemanfaatan, inovasi dan pencegahan perampasan oleh pihak-pihak yang tidak berhak atas kearifan lokal Indonesia. Kita harus berbangga dan berbesar hati memiliki negeri yang kaya akan budaya. Terdengar klise memang, tapi memang seperti itu keadaannya. Kita harus mau memulai untuk mencintai budaya kita dan memperkuat indigenous knowledge. Sehingga tanpa adanya pengakuan dan pematenan pun, Negara lain akan takut dan merasa enggan untuk “merampasnya”.
                Lihat saja salah satu contoh nyata yang ada di Indonesia, yaitu barongsai. Budaya masyarakat Tionghoa ini sudah lama ada di Indonesia dan juga Malaysia. Bahkan barongsai sering dimainkan dan dipertunjukkan dalam hari-hari besar suatu daerah di Indonesia. Namun hingga kini belum pernah ada yang mengklaim atas budaya Tionghoa itu. Mengapa hal ini bisa terjadi? Bukan karena budaya kurang menarik untuk diklaim atau hal lain, melainkan karena adanya indigenous knowledge  yang baik dan berakar kuat dari masyarakat Tionghoa itu sendiri, menjadi kunci utamanya Sehingga tanpa adanya pematenan di dunia internasional, indigenous knowledge secara tidak langsung membuat mindset masyarakat dunia mengatakan bahwa barongsai sama dengan masyarakat Tionghoa.
                Kembali kepada berbagai kasus klaim Malaysia, yang dapat dilakukan ialah mengkesplorasi kembali kearifan lokal yang sudah ada ini agar kembali diakui oleh dunia. Pemerintah juga sudah harus memulai mengambil langkah-langkah konkret melakukan konservasi budaya, bisa melalui pendidikan, penelitian dan pengembangan terhadap budaya khas Indonesia. Semuanya itu butuh proses yang cukup lama.  Membangun rasa cinta dan memiliki terhadap budaya sendiri juga perlu ditanamkan dan dipupuk dalam komunitas masyarakat Indonesia agar bisa tetap memajukan eksistensi kebudayaan Indonesia ditengah globalisasi zaman.  Bangsa yang besar adalah bangsa yang mencintai budayanya.

***

Martina Dwi Pramesthi 

4 comments:

  1. bagus ti :)
    itu Mr.Thomas itu siapa? bukan Tom Power kan *sotoy

    ReplyDelete
  2. Boleh bertanya ya mbak
    Apa sih perbedaan indigenous knowledge dan lokal wisdom (kearifan lokal)?

    ReplyDelete
  3. tulisan yang bagus, terima kasih atas insightnya :))

    ReplyDelete